Selasa, 28 Maret 2017

REVIU BUKU KONFLIK




REVIU BUKU
oleh
Reni Nursaeni

BAB 1
IDENTITAS BUKU

Perpustakaan Nasional: katalog dalam Terbitan (KDT)
Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini
Jakarta: INIS, 2003.
184 hlm,: 23,5 cm (Seri INIS: 441)
ISBN 979-8116-64-X
1.      Konflik sosial I. Seri 303.6
Diterbitkan oleh
Indonesian- Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS)
Universiteit Leiden
Bekerja sama dengan
Pusat bahasa dan Budaya (The Center for Language and Cultures)
Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Penerjemah: Suadi Asy’ari
Redaksi Ilmiah :          W.A.L. Stokhof
                                    Jacob Vredenbregt
                                    E. van Donzel
                                    Murni Djamal
Redaksi Jakarta :         Ahmad Seadie
                                    Ruslan
                                    Amelia Fauzia
                                    Chaider S. Bamualim
                                    Karina Helmanita
Lenden :                      Dick van der Meij
                                    Farida Ishaja
Redaktur yang bertanggung jawab untuk buku ini:
W.A.L. Stokhof dan Murni Djamal

Buku ini adalah kumpulan makalah dan materi diskusi yang dipresentasikan pada acara “International Workshop on Ethno-Religious Conflicts in Indonesia Today”, yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PBB), Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25-27 September 2001 di Jakarta. Workshop ini juga menyentuh persoalan-persoalan keagamaan masyarakat yang memiliki potensi timbulnya konflik ancaman terhadap integritas sosial seperti sebagaimana konflik yang terjadi di Sambas dan Sampit (2000-2001), Maluku (1999-2001), Poso (1999-2002). Lengsernya pemerintahan Soeharto membuat rakyat mengalami “euforia”, dan menunggangi “reformasi” untuk tindakan yang tidak produktiff, seperti melihat kebebasan sebagai alat radikalisme sosial, agresivitas, militansi, kebrutalan dan tindakan-tindakan kekerasan.
Ada beberapa orang yang menyampaikan materi dalam acara workshop diantaranya yaitu:
1.      Tri Ratnawati dengan judul “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis Politis”.  
2.      Amir Marzali dengan judul “Perbedaan Etnis Dalam Konflik: Sebuah Analisis Sosio-Ekonomi Terhadap Kekerasan Di Kalimantan”.
3.      William Chang dengan judul  “Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama”. 
4.      Erni Budiwanti dengan judul  “Mempertahankan Identitas Dan Toleransi Antaragama: Minoritas Muslim Di Lombok Dan Bali”.
5.      R. Tockary dengan judul “Catatan Singkat Tentang Konflik Etnis-Agama Di Indonesia”.
6.      Azyumardi Azra dengan judul  “Kerusuhan-Kerusuhan Massal Yang Terjadi Di Indonesia Baru-Baru Ini:Kemunduran Nasionalismedan Kemunculan Separatisme”
7.      Syarif Ibrahim Alqadrie dengan judul  “Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas Dan Kesadaran Etnis, Serta Indikasi Ke Arah Proses Disintegrasi Di Kalimantan”. 


BAB III
ANALISIS

Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia, sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi ini. (Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini yang diterjemahkan oleh Suaidi Syarif Hidayatullah)
Seperti dalam bukunya Malihah dan  Kolip “Pengantar Sosiologi” dikatakan bahwa konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dan di buku lain Maryati dan Suryawati “Sosiologi untuk SMA Kelas XI” disebutkan bahwa konflik merupakan gejala sosial yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat. Konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik Suku Madura dan Suku Dayak di Kalimantan Barat
Faktor yang menyebabkan konflik suku Madura dan suku Dayak salah satunya yaitu:
-          Frustasi Agresi
Suku dayak mengekspresikan rasa marah dan frustasi pada pemerintahan Pusat yang telah mengambil dan membagi –bagi tanah dan hutan kepada pengusaha-pengusaha kayu. Suku pendatang Madura menjadi target dari sasaran frustasi mereka.
-          Kebijakan pemerintah tentang komersiliasi Hutan di Kalimantan
-          POLRI yang tidak berdaya dan tidak dihormati
-          Etnisitas: orang Madura hidup tertutup dan suka melindungi pelakunya, apabila tertangkap polisi orang Madura melakukan penyogokan untuk melepaskannya.
-          Pertumbuhan Penduduk: Apabila jumlah penduduk melewati batas maka penduduk kampung harus membuka hutan-hutan untuk menanam padi dan tempat tinggal. Apa yang terjadi saat ini, kondisi hutan di wilayah Kalimantan telah berubah sejak Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan baru tentang hutan. (dalam Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini yang diterjemahkan oleh Suaidi Syarif Hidayatullah)
Frustasi agresi ini merupakan salah satu sumber konflik dimana sumber konflik menurut yang telah dijelaskan oleh dosen pendidikan resolusi konflik yakni ibu Rika Sartika bahwa sumber konflik ada empat yaitu:
1.      Hipotesis Frustasi Agresi: hal ini terjadi ketika seseorang tidak bisa menstabilkan emosi apabila keinginannya tidak tercapai.
2.      Perspektif psikoanalisis: konflik yang terjadi tanpa disadari biasanya karena tertekan.
3.      Kehilangan relatif: konflik yang terjadi karena ketidak mampuan harapan dengan kenyataan.
4.      Teori Kebutuhan Dasar: ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi maka akan menimbulkan konflik
Jika dilihat dari konflik suku Madura dan suku Dayak selain termasuk konflik etnis namun juga terdapat konflik politik. Seperti kebijakan pemerintah pusat yang terkadang bertentangan dengan orang Dayak, polri yang tidak berdaya. Namun yang mencuat dalam public adalah konflik etnis antara suku Madura dan Suku Dayak. Padahal saya melihat disana ada terselip konflik politik tentang kebijakan pada masa Soeharto yang memicu sikap agresif suku Dayak. Setelah Soeharto lengser, kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan bahkan munculnya kemarahan sangat besar sehingga konflik pun menjadi meluas. Hingga saat ini berdampak pada hubungan sosial antara masyarakat suku Madura dengan suku Dayak. Dengan adanya konflik tersebut mungkin saja masyarakat Suku Madura enggan untuk berkunjung ke Kalimantan, begitu sebaliknya masyarakat suku Dayak juga tidak mau pergi ke daerah Madura, meskipun tidak semuanya seperti itu, namun pasti ada kekhawatiran diantara mereka dalam hubungan sosialnya. Dampak dari adanya konflik antara suku Madura dengan suku Dayak yaitu hubungan sosial mereka yang mungkin saja ada rasa curiga antara satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan yang lain pun seperti halnya perkawinan, ada beberapa orang suku Dayak tidak mau menikahi suku Madura dan begitu pun sebaliknya.
Pendatang Bali penganut Hindu minoritas dan penduduk asli Lombok penganut Islam. Justru yang berkonflik adalah sesama etnis yang sama yaitu Sasak (penduduk Asli Ambon) yang beragama islam namun terpecah menjadi Wetu Tilu dan Waktu Lima. Wetu Tilu sebagai muslim yang terus mempertahankan keyakinan nenek moyang dan berbagai dewa dan longgarnya dalam menjalankan agama islam. Sedangkan Waktu Lima kepercayaan lebih kuat terhadap Islam untuk mempraktekan ajaran Islam sehari-hari. Adanya keinginan Waktu Lima untuk membersihkan kepercayaan Watu Telu dari praktek adat yang bertentangan dengan islam. Adat istiadat Wetu Telu dianggap mencemarkan dan merusak keaslian ajaran Islam yang standar.
Selain di Lombok hal serupa juga terjadi di Cirebon, dimana mreka adalah agama Islam namun masih suka melakukan ritual-ritual nenek moyang mereka. Ketika menyambut kelahiran nabi Muhammad (Muludan) biasanya di kota Cirebon selalu ada ritual-ritual di Kesepuhan dan Kanoman. Di sisi lain mayarakat kota Cirebon beragama Islam namun di sisi lain masyarakat Cirebon pun masih menjunjung tradisinya sehingga banyak wisatawan yang datang ke Cirebon saat bulan “Mulud”. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya menyebutnya dengan “Islam Kejawen”. namun hal ini tidak sampai kepada konflik yang besar.

Kerusuhan-kerusuhan Massal
Timor Timur: insiden Santa Cruz yang dipicu oleh tembakan TNI terhadap warga sipil Timor Timur yang sedang berjalan menuju pemakaman untuk menyampaikan rasa simpati kepada Sebastio Gomes yang di bunuh TNI  pada saat penyerangan gereja Motael. Kejatuhan Soeharto merupakan waktu yang tepat untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Kerusuhan di Timor Timur terutama Papua sampai saat ini masih saja terjadi, seperti pada tahun 2014 terjadi penembakan terhadap warga sipil di Panitan, tahun 2015 juga terjadi pembakaran masjid yang dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri. Belum lagi akhir-akhir ini terjadi unjuk rasa yang terjadi di asrama Papua Kamasan.
Jika dilihat dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Papua saat ini seperti adanya dendam sejarah masa lalu yang terus berlangsung sampai saat ini. Jika dilihat dari konflik antara umat Kristen yang membakar Masjid saat berlangsungnya shalat Idul Fitri, mungkin saja public berpikir kalau ini adalah konflik agama, namun jika kita telusuri lebih mendalam menurut saya ini adalah konflik kepentingan yakni umat Kristen memiliki kepentingan sendiri untuk mengadakan acara pertemuan sedangkan umat Islam pun memiliki kepentingan untuk memenuhi kewajibannya yakni shalat Idul Fitri. Karena setiap agama pun mengajarkan kebaikan dan tidak diperbolehkan melakukan kekerasan apalagi pembunuhan. Di sini media juga memiliki pengaruh dalam hal menyebarkan informasi yang seolah-olah ini adalah konflik agama sehingga public yang berada di luar daerah Papua dan bahkan se-Indonesia telah melihat tayangan dari media, sehingga dampaknya akan meluas ke berbagai daerah lainnya di Indonesia, yang mungkin saja ini bisa di contoh oleh daerah-daerah lainnya untuk melakukan hal sama seperti di Papua ketika terjadi ketegangan terutama antara umat Islam dengan Kristen. Maka dari itu, media seharusnya menayangkan hal-hal yang positif juga, bukan hanya menanyangkan hal-hal negative untuk mengejar reting tertentu saja.
Aceh: Pemerintah Jakarta menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Aceh. Jakarta tidak menepati janji-janji pengakuan dan implementasi status khusu bagi Aceh. Hasilnya ketidak puasan politik yang mengiringi kebangkitan gerakan separatis (Gerakan Darul Islam).
Kerusuhan di Aceh juga sampai saat ini masih terjadi ribuan orang yang tergabung dalam Tim Relawan Aceh (TRA) menggugat presiden Republik Indonesia dan segenap jajaran pemerintahan NAD agar mengganti rugi atas korban-korban konflik yang belum mendapatkan bantuan reintegrasi pasca perjanjian damai tahun 2005.
Ambon: Kerusuhan di Ambon atau Maluku berawal dari persaingan sumber daya ekonomi dan distribusi kekuatan politik antara masyarakat Muslim dan Kristen.
Konflik Maluku yang terjadi pada tahun 2003 disebabkan karena perkelahian pemuda selama 4 tahun ini belum selesai.
Kalimantan Barat: konflik etnik yang mengakar antara penduduk asli Dayak dan pendatang Madura. Kerusuhan banyak terjadi di Sambas kemudian merambat ke Pontianak lebih dari 1.720 orang terbunuh. Stereotip.
Konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura telah terjadi beberapa tahun yang lalu sejak awal Indonesia reformasi namun kini terjadi kembali menurut sumber di media sosial yaitu pada tanggal 20 februari 2016 terjadi kasus kriminalitas berupa penusukan  di Jl P Antasari Gg 10 Harapan Rt 03 Banjarmasin Timur, korban merupakan warga Dayak  Muslim dan pelaku adalah 4 orang premanmanta residivisi yakni suku Madura. Sehingga isu ini menyebar ke suku Dayak yang membuat seluruh suku Dayak yang ada di Kalimantan menjadi agresif. Mereka sudah siap menuju kota Banjarmasin apabila pelaku dalam waktu 20 hari belum tertangkap polisi. (banjarmasinpedia)
            Analisis saya, di sini Suku Dayak dan Suku Madura seperti memiliki dendam dan rasa sentiment yang sangat luar biasa, apalagi Suku Dayak terhadap Madura, sehingga ketika mendengan pelaku penusukan adalah suku Madura, maka suku Dayak langsung emosi dan menyebarkan informasi kepada suku Dayak lainnya, sehingga akan menjadi konflik yang besar antara suku Dayak dan Madura.  Disini adanya rasa solideritas dan kesetia kawanan yang tinggi terhadap suku Dayak yang menjadi korban sehingga ketika ada satu orang terluka dari suku mereka, maka suku Dayak yang lain tidak akan tinggal diam, mereka bisa saja memutuskan untuk perang dan akan ada pertumpahan darah lagi jika konflik ini tidak bisa di manajemen dengan baik. Oleh karena itu, penegak hukum harus benar-benar bisa mengantisipasi terjadinya bentrokan antara suku Dayak dan suku Madura. 
Konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia seperti tidak ada habisnya. Jika kita melihat konflik yang terjadi di Papua, Aceh, Ambon, Kalimantan Barat seolah-olah konflik itu berasal dari Ras dan Agama. Padahal di dalam beberapa buku yang telah saya baca di katakana bahwa semua Agama mengajarkan kebaikan, kebenaran dan ketaatan bagi pemeluk-pemeluknya. Tidak ada satupun agama yang menyuruh kepada kejahatan. Namun karena Indonesia merupakan masyarakat yang plural baik itu agama maupun ras sehingga seringkali ketika terjadi konflik selalu dikaitkan dengan masalah keagamaan atau ras. Hal ini juga dikarenakan pada masa penjajahan Belanda yang telah mengadu domba masyarakat Indonesia terkait keaneka ragamannya sehingga munculah sikap merendahkan agama atau ras yang berbeda dengan dirinya.
Konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti api dalam sekam, yang akan meledak kapan pun apabila ada pemicunya. Kelihatannya baik-baik saja namun ketika ada pemicu sekitik saja maka akan menjadi besar dan merambat kepada yang lainnya.  Saya melihat dibeberapa halaman dalam buku ini bahwa konflik-konflik di berbagai daerah ini terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang otoriter dan ketika jatuhnya kepresidenan Soeharto. Dimana terjadi transisi masa Orde Baru kepada masa Reformasi dimana kebebasan rakyat terjadi.
Saya pun melihat konflik-konflik ini seperti konflik yang diwariskan secara turun-temurun dan akibat adanya rasa kebencian yag sangat mendalam. Seolah-olah masyarakat telah terdoktrin oleh masa-masa dulu yang masih menyimpan luka sampai saat ini. Dan luka itu belum sembuh seutuhnya, meskipun telah ada dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan konflik namun tetap saja konflik ini muncul kembali, walaupun  penyebabnya masalah sepele. Saat ini saya melihat di beberapa berita konflik hanya berawal dari individu dengan individu namun kemudian meluas kepada kelompok dengan kelompok yang akhirnya terjadi bentrokan antar warga. Hal ini seolah-olah adanya dendam di masa lalu kemudian dendam ini disimpan di dalam hati, dan ketika ada pemicu meskipun sepele akan membludak menjadi besar dan terjadi konflik antar warga sekampung. 
Faktor-faktor pemicu yang mendasari terjadinya antarkomunitas di Kalimantan (Alqadrie, 2006)
·         Perbedaan budaya
·         Persaingan yang tidak seimbang
·         Premanisme dan kriminalitas (tindak kejahatan)
·         Kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistik
·         Struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang
·         Ketidak mampuan dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum.
Di dalam bukunya Malihah dan Kolip “Pengantar Sosiologi” disebutkan beberapa akar penyebab terjadinya konflik menurut beberapa sosiolog yaitu:
1.      Perbedaan antar individu
2.      Benturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik
3.      Perubahan sosial
4.      Perbedaan kebudayaan
Saya melihat disini terdapat kesamaan dari factor penyebab konflik yang terjadi di Kalimantan dengan materi konflik yang tertuang dalam buku Malihah dan Kolip yaitu:
·         Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yakni sikap yang menunjukan bahwa kelompoknya paling baik, ideal dibandingkan dengan kelompok lain. Jika masing-masing kelompok memiliki sikap seperti itu maka sikap ini akan akan memicu terjadinya konflik antar penganut kebudayaan. Seperti halnya di Kalimantan terjadi konflik antara suku Madura dan suku Dayak. Adanya prasangka-prasangka dari suku Dayak kalau suku Madura itu selalu membela yang salah, dan melakukan penyogokan terhadap pihak kepolisian.
·         Benturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik dengan Struktur dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang. Seperti suku Dayak memiliki kepentingan karena daerah yang diduduki oleh suku Madura adalah wilayahnya. Begitu pula sebagai suku Madura sebagai pendatang dan sudah menetap lama di daerah Kalimantan juga memiliki kepentingan untuk menjadi pengusaha kayu di Kalimantan. 
·         Perubahan sosial dengan kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistik yakni pada masa pemerintahan Orde Baru Soeharto pemerintahan Pusat yang telah mengambil dan membagi –bagi tanah dan hutan kepada pengusaha-pengusaha kayu, sehingga suku Dayak marah terhadap pemerintahan Soeharto yang sangat sentralistik. Kebijakan pemerintahan Soeharto  melalui Menteri Kehutanan, pemerintah pusat telah menjadikan sebagian besar wilayah hutan tropis sebagai wilayah konsesi (pemilik HPH) bagi perusahaan kayu tanpa memperhatikan hak-hak tanah tradisional orang dayak
Sejak tahun 1990 telah terjadi serangan terhadap Gereja dengan peningkatan momentum dan klimaksnya pada insiden yang mengerkan 1996 dan 1997 di Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian Timur Indonesia telah terjadi serangan terhadap masjid-mesjid.
Beberapa tahun silam di Madura, Jawa Timur terjadi pembakaran masjid dan rumah oleh pengikut Syiah oleh kelompok Sunni.
Dimulai dari kelompok anti syiah berdemo secara damai, mereka meminta bus  yang membawa anak-anak itu kembali ke rumahnya karena khawatir akan di cuci otaknya ,menjadi penganut aliran sesat, tetapi demo itu disikapi keras oleh kelompok Syiah dengan mengacungkan cerulit dan pedang dan kelompok Sunni ada yang terkena bom rakitan. Bentrokan pun tak bisa dihindari mereka saling serang dengan senjata tajam dan bom rakitan yang ditanam di tanah.
Konflik di Poso dan sekitarnya dan Luwu di bagian tengah Sulawesi dan belum ada pemecahannya sampai saat ini.
Konflik di Poso merupakan konflik terpanjang dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan sampai detik ini konflik di Poso masih terjadi, terutama yang masih hangat adalah konflik Santoso yang merupakan teroris, serta kemarin diberitakan bahwa polisi salah tembak yang menyebabkan satu orang tewas. Polisi mengira bahwa korban itu adalah pengikut Santoso, namun ternyata bukan.
Hal ini merupakan dampak konflik Poso yang begitu panjang sehingga menyebabkan banyak pihak yang saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya. Kehidupan masyarakat yang seharusnya bertetangga dengan baik atau hidup rukun saling menyapa dan tolong menolong, malahan berubah menjadi saling curiga antara satu dengan yang lainnya. Adanya rasa saling curiga diantara masyarakat maupun pihak keamanan di daerah Poso menjadikan kehidupan sosial di Poso sangat memprihatinkan. Padahal manusia butuh rasa aman untuk keberlangsungan hidupnya.
Muslim Bali sebagai Minoritas di Bali
Minoritas Muslim Bali di Pagayaman Bali mampu mengadopsi sebagian unsur budaya Hindu-Bali  sebagai sumber potensi untuk memperkaya identitas mereka.
Saya melihat bahwa sikap saling menghormati antara Hindu Bali dengan Islam Bali sudah terlaksana dengan baik. Seperti ketika acara “nyepi” orang Islam juga menghormati, dan begitu pula dengan peribadatan umat Islam seperti shalat Jumat, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya. Bahkan ketika umat Islam melaksanakan peribadatan, masyarakat Bali yang beragama Hindu ikut mengamankan dan menjaga keamanan. Namun sekarang saya mendengar ada isu larangan berhijab di sekolah. Saya melihat diberita sosial media bahwa ada konflik tentang pelarangan sekolah di Bali memakai hijab bagi umat muslim. Berita ini telah menyebar  ke wilayah-wilayah lain yang bisa menyebabkan konflik di wilayah lain. Namun bisa saja berita ini hanya dibuat oleh sekelompok oknum yang hanya ingin menghancurkan kerukunan di Bali. Oknum tersebut bisa saja memakai sarana media untuk menggembor-gemborkan agar konflik iu semakin memanas. 
Perpecahan internal dalam agama-agama
Sekarang ini banyak aliran-aliran sesat dalam internal agama, persepsi setiap orang dalam memahami agama masing-masing menjadi penyebab adanya radikalisme agama. Pemahaman yang salah dan pengetahuan agama yang kurang mendalam menyebabkan konflik dalam satu agama. Misalnya adanya kelompok Gafatar, dimana kelompok ini merupakan kelompok dengan aliran sesat. Jadi bukan hanya antar agama bisa terjadi konflik, melainkan sesama agama pun selalu ada konflik. Bahkan mereka yang sesama agama mengkafirkan orang seagamanya. Kelompok radikal ini sangat meresahkan masyarakat karena di dalamnya terdapat kekerasan atau tindak kriminal seperti bom bunuh diri sebagai zihad dan lain sebagainya.
Terdapat antusiasme yang luar biasa masyarakat Indonesia dalam menjalankan demokratisasi seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Mereka mengidentifikasikan demokrasi sebagai kebebasan untuk ambil bagian dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik, menyampaikan pendapat dan bahkan melakukan tindakan politik yang memaksakan kehendak.
Melihat dari pernyataan diatas bahwa sekarang ini masyarakat Indonesia sepertinya telah salah kaprah dalam memahami demokrasi. Kebebasan dewasa ini merupakan kebebasan yang sebebas-bebasnya, banyak perang kata-kata di media sosial antara individu dengan individu bahkan menghina dan mengkritik yang negative terhadap pemerintah maupun elit politik dewasa ini sudah keterlaluan menurut saya. Banyak kata-kata kotor yang disampaikan oleh rakyat kepada pemerintah dan elit politik lainnya, sebagai pelampiasan rasa amarah dan mungkin dendam kepada pemerintah. Kebebasan yang sebebas-bebasnya terutama di media sosial yang tidak ada jarak pemisah antara rakyat dan pemerintah.
Kemunculan Primordialisme
Konflik ini menunjukan bahwa elit politik telah melakukan tindakan yang sama dengan politik kotor, karena mereka telah menggunakan segala cara untuk mengalahkan musuh politik mereka, yang membangkitkan sentiment primordial.


Permasalahan primordialisme saat ini juga masih terjadi apalagi ketika akan diselenggarakannya pemilihan presiden, gubernur dan pemilihan-pemilihan lainnya di Indonesia. Ketika berkampanye biasanya partai politik melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Isu terhangat sekarang ini tentang pencalonan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok merupakan minoritas baik dari sisi agama maupun dari sisi keturunan. Namun mengapa Ahok bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur. Dengan awalnya Ahok memilih untuk maju melalui jalur independen dan teman Ahok telah berhasil mengumpulkan fotocopy KTP sesuai persyaratan. Terdapat beberapa elit politik yang berusaha menjatuhkan Ahok dengan mempengaruhi pemikiran warga untuk tidak mendukungnya dengan alasan agama Ahok yang Kristen dan Ahok merupakan keturunan Cina. Hal ini menimbulkan pro dan kontra antara warga dan juga partai politik yang akan mendukungnya. Sehingga terjadi beberapa pemberitaan di media massa yang menggembor-gemborkan sehingga terjadi konflik antara Teman Ahok dan Partai Politik, selain itu, untuk menjatuhkan Ahok ada beberapa pihak yang menuduh Ahok korupsi Sumber Waras dan lain sebagainya yang menyebabkan Ahok untuk masuk beberapa kali ruang sidang, namun semua tuduhan itu nyatanya tidak bisa dibuktikan dan tidak bisa memenjarakan Ahok. Banyaknya pihak yang ingin menjatuhkan Ahok dari berbagai partai politik dan lain sebagainya yang membuat politik kotor di Indonesia.
 Selain itu promordialisme juga terjadi untik menyingkirkan lawan politik Misalnya ada calon presiden orang Banten maka rakyat Banten dan sekitarnya harus memilih calon presiden yang berasal dari daerah yang sama dengan rakyat. Padahal belum tentu kinerja presiden itu membawa kebaikan untuk semua masyarakat Indonesia.
Menurut pengamatan saya di pedesaan sering kali terjadi ketika pemilihan DPRD, masing-masing calon memegang satu desa sebagai pendukungnya. Jadi para calon mengklaim bahwa desa ini merupakan desa yang memilih dirinya, sehingga ketika calon itu terpilih maka yang diutamakan dalam pembangunan desa atau dalam memakmurkan desa yaitu desa yang warganya banyak memilih dirinya. Sedangkan desa yang tidak mendukung dirinya ada kalanya sedikit diabaikan. Itu menurut pengamatan saya di salah satu desa, namun tidak semua di desa lain yang ada di Indonesia seperti itu.
Konflik di Indonesia akan selalu terjadi karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural, berbagai perbedaan individu, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya akan sulit untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga konflik akan terus terjadi, kita tidak bisa menghilangkan konflik, namun yang perlu kita lakukan adalah mengolah konflik sehingga tidak menjadi besar dan meluas. Masyarakat yang multicultural dan banyak penduduknya akan sulit disatukan dibandingkan dengan masyarakat yang homogen dan sedikit penduduknya.

 


BAB IV
SARAN
A.    Bagi Pengarang
Kekurangan buku ini:
·         Cover kurang menarik
·         Tidak ada daftar isi
·         Tidak ada gambar konflik yang terjadi
·         Bahasa yang digunakan terkadang sulit dipahami
·         Buku ini tidak dibuat per Bab seperti buku-buku lain.
Saran saya bagi pengarang buku untuk lebih memperhatikan lagi cover bukunya agar lebih menarik dan kelihatan indah sehingga menarik pembaca untuk membaca buku tersebut.  Selain itu, buku tersebut harus adanya daftar isi sehingga memudahkan pembaca mengetahui halaman-halaman setiap judul yang dipresentasikan di workshop itu. Agar lebih menarik lagi, buku tersebut harus dilengkapi gambar-gambar konflik yang dijelaskan supaya pembaca bisa lebih memahami dan pembaca bisa melihat kejadian melalui gambar-gambar yang disajikan, hal ini juga agar ceritanya tidak monoton. Bahasa juga harus diperhatikan. Di buku ini tidak dibuat per bab, namun di dalamnya ada pengganti bab yaitu bagian 1, bagian 2, bagian 3 dan bagian 4. Setiap bagian terdapat beberapa sub judul  yang dipresentasikan dalam workshop oleh beberapa orang. Hal ini akan sulit jika pembacanya orang awam. Maka dari itu harus dibuat daftar isi untuk memperjelas bagian dari sub-sub judul per babnya.

B.     Bagi Pembaca
1.      Pembaca disarankan agar membaca dari awal secara tertib, tidak boleh berpindah-pindah sesuka hati, karena setiap bagian isi buku akan saling berkaitan dengan bagian buku di bab selanjutnya. Jika membacanya berpindah-pindah maka akan kesulitan untuk memahami buku ini.
2.      Pembaca disarankan agar menandai halaman buku yang telah dibacanya sampai halaman yang terakhir dibaca, dikarenakan tidak ada daftar isi maka agar tidak lupa dan tidak mengulang pada halaman sebelumnya pembaca harus menandai halaman yang dibacanya.
3.      Pembaca disarankan agar memahami setiap bagian isi buku tersebut.
4.      Pembaca disarankan agar memperkuat imajinasi dan pemikirannya terfokus pada isi buku yang dibaca. Karena buku ini seperti bercerita tentang sejarah konflik zaman Belanda, Soeharto dan setelah Soeharto yakni awal reformasi. Sehingga pembaca harus bisa membayangkan kejadian konfliknya serta memahami kapan terjadi konfliknya. Singkatnya harus memahami 5W+ 1H tentang konflik yang terjadi di Indonesia.