REVIU BUKU
oleh
Reni Nursaeni
BAB
1
IDENTITAS
BUKU
Perpustakaan Nasional: katalog
dalam Terbitan (KDT)
Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini
Jakarta: INIS, 2003.
184 hlm,: 23,5 cm (Seri INIS: 441)
ISBN 979-8116-64-X
1. Konflik
sosial I. Seri 303.6
Diterbitkan oleh
Indonesian- Netherlands Cooperation
in Islamic Studies (INIS)
Universiteit Leiden
Bekerja sama dengan
Pusat bahasa dan Budaya (The Center
for Language and Cultures)
Universitas Islam negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Penerjemah: Suadi Asy’ari
Redaksi Ilmiah : W.A.L. Stokhof
Jacob Vredenbregt
E. van Donzel
Murni Djamal
Redaksi Jakarta : Ahmad Seadie
Ruslan
Amelia
Fauzia
Chaider
S. Bamualim
Karina
Helmanita
Lenden : Dick van der Meij
Farida Ishaja
Redaktur yang bertanggung jawab
untuk buku ini:
W.A.L. Stokhof dan Murni Djamal
Buku ini adalah
kumpulan makalah dan materi diskusi yang dipresentasikan pada acara “International Workshop on Ethno-Religious
Conflicts in Indonesia Today”, yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan
Budaya (PBB), Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 25-27 September 2001 di Jakarta. Workshop ini juga menyentuh persoalan-persoalan keagamaan
masyarakat yang memiliki potensi timbulnya konflik ancaman terhadap integritas
sosial seperti sebagaimana konflik yang terjadi di Sambas dan Sampit
(2000-2001), Maluku (1999-2001), Poso (1999-2002). Lengsernya pemerintahan
Soeharto membuat rakyat mengalami “euforia”, dan menunggangi “reformasi” untuk
tindakan yang tidak produktiff, seperti melihat kebebasan sebagai alat
radikalisme sosial, agresivitas, militansi, kebrutalan dan tindakan-tindakan
kekerasan.
Ada beberapa orang yang menyampaikan materi dalam
acara workshop diantaranya yaitu:
1. Tri
Ratnawati dengan judul “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis
Politis”.
2. Amir
Marzali dengan judul “Perbedaan Etnis Dalam Konflik: Sebuah Analisis
Sosio-Ekonomi Terhadap Kekerasan Di Kalimantan”.
3. William
Chang dengan judul “Berkaitan Dengan
Konflik Etnis-Agama”.
4. Erni
Budiwanti dengan judul “Mempertahankan
Identitas Dan Toleransi Antaragama: Minoritas Muslim Di Lombok Dan Bali”.
5. R.
Tockary dengan judul “Catatan Singkat Tentang Konflik Etnis-Agama Di Indonesia”.
6. Azyumardi
Azra dengan judul “Kerusuhan-Kerusuhan
Massal Yang Terjadi Di Indonesia Baru-Baru Ini:Kemunduran Nasionalismedan
Kemunculan Separatisme”
7. Syarif
Ibrahim Alqadrie dengan judul “Faktor-Faktor
Penyebab Konflik Etnis, Identitas Dan Kesadaran Etnis, Serta Indikasi Ke Arah
Proses Disintegrasi Di Kalimantan”.
BAB
III
ANALISIS
Konflik
merupakan bagian dari kehidupan umat manusia, sepanjang seseorang masih hidup
hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi ini. (Konflik Komunal
di Indonesia Saat Ini yang diterjemahkan oleh Suaidi Syarif Hidayatullah)
Seperti dalam
bukunya Malihah dan Kolip “Pengantar Sosiologi” dikatakan bahwa
konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren,
artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja
dan kapan saja. Dan di buku lain Maryati dan Suryawati “Sosiologi untuk SMA Kelas XI” disebutkan bahwa konflik merupakan
gejala sosial yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat.
Konflik hanya akan hilang bersama hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik Suku Madura
dan Suku Dayak di Kalimantan Barat
Faktor yang
menyebabkan konflik suku Madura dan suku Dayak salah satunya yaitu:
-
Frustasi
Agresi
Suku dayak
mengekspresikan rasa marah dan frustasi pada pemerintahan Pusat yang telah
mengambil dan membagi –bagi tanah dan hutan kepada pengusaha-pengusaha kayu.
Suku pendatang Madura menjadi target dari sasaran frustasi mereka.
-
Kebijakan
pemerintah tentang komersiliasi Hutan di Kalimantan
-
POLRI
yang tidak berdaya dan tidak dihormati
-
Etnisitas:
orang Madura hidup tertutup dan suka melindungi pelakunya, apabila tertangkap
polisi orang Madura melakukan penyogokan untuk melepaskannya.
-
Pertumbuhan
Penduduk: Apabila jumlah penduduk melewati batas maka penduduk kampung harus
membuka hutan-hutan untuk menanam padi dan tempat tinggal. Apa yang terjadi
saat ini, kondisi hutan di wilayah Kalimantan telah berubah sejak Pemerintah
Orde Baru mengeluarkan kebijakan baru tentang hutan. (dalam Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini yang diterjemahkan oleh Suaidi Syarif Hidayatullah)
Frustasi agresi ini merupakan salah satu sumber
konflik dimana sumber konflik menurut yang telah dijelaskan oleh dosen
pendidikan resolusi konflik yakni ibu Rika Sartika bahwa sumber konflik ada
empat yaitu:
1. Hipotesis
Frustasi Agresi: hal ini terjadi ketika seseorang tidak bisa menstabilkan emosi
apabila keinginannya tidak tercapai.
2. Perspektif
psikoanalisis: konflik yang terjadi tanpa disadari biasanya karena tertekan.
3. Kehilangan
relatif: konflik yang terjadi karena ketidak mampuan harapan dengan kenyataan.
4. Teori
Kebutuhan Dasar: ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi maka akan menimbulkan
konflik
Jika dilihat dari konflik suku Madura dan suku Dayak
selain termasuk konflik etnis namun juga terdapat konflik politik. Seperti
kebijakan pemerintah pusat yang terkadang bertentangan dengan orang Dayak,
polri yang tidak berdaya. Namun yang mencuat dalam public adalah konflik etnis
antara suku Madura dan Suku Dayak. Padahal saya melihat disana ada terselip
konflik politik tentang kebijakan pada masa Soeharto yang memicu sikap agresif suku
Dayak. Setelah Soeharto lengser, kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
bahkan munculnya kemarahan sangat besar sehingga konflik pun menjadi meluas.
Hingga saat ini berdampak pada hubungan sosial antara masyarakat suku Madura
dengan suku Dayak. Dengan adanya konflik tersebut mungkin saja masyarakat Suku
Madura enggan untuk berkunjung ke Kalimantan, begitu sebaliknya masyarakat suku
Dayak juga tidak mau pergi ke daerah Madura, meskipun tidak semuanya seperti
itu, namun pasti ada kekhawatiran diantara mereka dalam hubungan sosialnya. Dampak
dari adanya konflik antara suku Madura dengan suku Dayak yaitu hubungan sosial
mereka yang mungkin saja ada rasa curiga antara satu dengan yang lainnya. Dalam
hubungan yang lain pun seperti halnya perkawinan, ada beberapa orang suku Dayak
tidak mau menikahi suku Madura dan begitu pun sebaliknya.
Pendatang Bali
penganut Hindu minoritas dan penduduk asli Lombok penganut Islam. Justru yang
berkonflik adalah sesama etnis yang sama yaitu Sasak (penduduk Asli Ambon) yang
beragama islam namun terpecah menjadi
Wetu Tilu dan Waktu Lima. Wetu Tilu
sebagai muslim yang terus mempertahankan keyakinan nenek moyang dan berbagai
dewa dan longgarnya dalam menjalankan agama islam. Sedangkan Waktu Lima kepercayaan lebih kuat
terhadap Islam untuk mempraktekan ajaran Islam sehari-hari. Adanya keinginan Waktu Lima untuk membersihkan
kepercayaan Watu Telu dari praktek
adat yang bertentangan dengan islam. Adat istiadat Wetu Telu dianggap mencemarkan dan merusak keaslian ajaran Islam
yang standar.
Selain di Lombok hal serupa juga terjadi di Cirebon,
dimana mreka adalah agama Islam namun masih suka melakukan ritual-ritual nenek
moyang mereka. Ketika menyambut kelahiran nabi Muhammad (Muludan) biasanya di
kota Cirebon selalu ada ritual-ritual di Kesepuhan dan Kanoman. Di sisi lain
mayarakat kota Cirebon beragama Islam namun di sisi lain masyarakat Cirebon pun
masih menjunjung tradisinya sehingga banyak wisatawan yang datang ke Cirebon
saat bulan “Mulud”. Masyarakat Cirebon dan sekitarnya menyebutnya dengan “Islam
Kejawen”. namun hal ini tidak sampai kepada konflik yang besar.
Kerusuhan-kerusuhan Massal
Timor
Timur: insiden Santa Cruz yang dipicu oleh tembakan TNI terhadap warga sipil
Timor Timur yang sedang berjalan menuju pemakaman untuk menyampaikan rasa
simpati kepada Sebastio Gomes yang di bunuh TNI
pada saat penyerangan gereja Motael. Kejatuhan Soeharto merupakan waktu
yang tepat untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Kerusuhan di Timor Timur terutama Papua sampai saat
ini masih saja terjadi, seperti pada tahun 2014 terjadi penembakan terhadap
warga sipil di Panitan, tahun 2015 juga terjadi pembakaran masjid yang
dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah
shalat Idul Fitri. Belum lagi akhir-akhir ini terjadi unjuk rasa yang terjadi di
asrama Papua Kamasan.
Jika dilihat dari konflik berkepanjangan yang
terjadi di Papua saat ini seperti adanya dendam sejarah masa lalu yang terus
berlangsung sampai saat ini. Jika dilihat dari konflik antara umat Kristen yang
membakar Masjid saat berlangsungnya shalat Idul Fitri, mungkin saja public
berpikir kalau ini adalah konflik agama, namun jika kita telusuri lebih
mendalam menurut saya ini adalah konflik kepentingan yakni umat Kristen
memiliki kepentingan sendiri untuk mengadakan acara pertemuan sedangkan umat
Islam pun memiliki kepentingan untuk memenuhi kewajibannya yakni shalat Idul
Fitri. Karena setiap agama pun mengajarkan kebaikan dan tidak diperbolehkan
melakukan kekerasan apalagi pembunuhan. Di sini media juga memiliki pengaruh
dalam hal menyebarkan informasi yang seolah-olah ini adalah konflik agama
sehingga public yang berada di luar daerah Papua dan bahkan se-Indonesia telah
melihat tayangan dari media, sehingga dampaknya akan meluas ke berbagai daerah
lainnya di Indonesia, yang mungkin saja ini bisa di contoh oleh daerah-daerah
lainnya untuk melakukan hal sama seperti di Papua ketika terjadi ketegangan
terutama antara umat Islam dengan Kristen. Maka dari itu, media seharusnya
menayangkan hal-hal yang positif juga, bukan hanya menanyangkan hal-hal
negative untuk mengejar reting tertentu saja.
Aceh:
Pemerintah Jakarta menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak dapat diterima
oleh masyarakat Aceh. Jakarta tidak menepati janji-janji pengakuan dan
implementasi status khusu bagi Aceh. Hasilnya ketidak puasan politik yang
mengiringi kebangkitan gerakan separatis (Gerakan Darul Islam).
Kerusuhan di Aceh juga sampai saat ini masih terjadi
ribuan orang yang tergabung dalam Tim Relawan Aceh (TRA) menggugat presiden
Republik Indonesia dan segenap jajaran pemerintahan NAD agar mengganti rugi
atas korban-korban konflik yang belum mendapatkan bantuan reintegrasi pasca
perjanjian damai tahun 2005.
Ambon:
Kerusuhan di Ambon atau Maluku berawal dari persaingan sumber daya ekonomi dan
distribusi kekuatan politik antara masyarakat Muslim dan Kristen.
Konflik
Maluku yang terjadi pada tahun 2003 disebabkan karena perkelahian pemuda selama
4 tahun ini belum selesai.
Kalimantan
Barat: konflik etnik yang mengakar antara penduduk asli Dayak dan pendatang
Madura. Kerusuhan banyak terjadi di Sambas kemudian merambat ke Pontianak lebih
dari 1.720 orang terbunuh. Stereotip.
Konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura telah
terjadi beberapa tahun yang lalu sejak awal Indonesia reformasi namun kini
terjadi kembali menurut sumber di media sosial yaitu pada tanggal 20 februari
2016 terjadi kasus kriminalitas berupa penusukan di Jl P Antasari Gg 10 Harapan Rt 03
Banjarmasin Timur, korban merupakan warga Dayak
Muslim dan pelaku adalah 4 orang premanmanta residivisi yakni suku
Madura. Sehingga isu ini menyebar ke suku Dayak yang membuat seluruh suku Dayak
yang ada di Kalimantan menjadi agresif. Mereka sudah siap menuju kota
Banjarmasin apabila pelaku dalam waktu 20 hari belum tertangkap polisi.
(banjarmasinpedia)
Analisis saya, di sini Suku Dayak
dan Suku Madura seperti memiliki dendam dan rasa sentiment yang sangat luar
biasa, apalagi Suku Dayak terhadap Madura, sehingga ketika mendengan pelaku
penusukan adalah suku Madura, maka suku Dayak langsung emosi dan menyebarkan
informasi kepada suku Dayak lainnya, sehingga akan menjadi konflik yang besar
antara suku Dayak dan Madura. Disini
adanya rasa solideritas dan kesetia kawanan yang tinggi terhadap suku Dayak
yang menjadi korban sehingga ketika ada satu orang terluka dari suku mereka,
maka suku Dayak yang lain tidak akan tinggal diam, mereka bisa saja memutuskan
untuk perang dan akan ada pertumpahan darah lagi jika konflik ini tidak bisa di
manajemen dengan baik. Oleh karena itu, penegak hukum harus benar-benar bisa
mengantisipasi terjadinya bentrokan antara suku Dayak dan suku Madura.
Konflik yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia
seperti tidak ada habisnya. Jika kita melihat konflik yang terjadi di Papua,
Aceh, Ambon, Kalimantan Barat seolah-olah konflik itu berasal dari Ras dan
Agama. Padahal di dalam beberapa buku yang telah saya baca di katakana bahwa
semua Agama mengajarkan kebaikan, kebenaran dan ketaatan bagi
pemeluk-pemeluknya. Tidak ada satupun agama yang menyuruh kepada kejahatan.
Namun karena Indonesia merupakan masyarakat yang plural baik itu agama maupun
ras sehingga seringkali ketika terjadi konflik selalu dikaitkan dengan masalah
keagamaan atau ras. Hal ini juga dikarenakan pada masa penjajahan Belanda yang
telah mengadu domba masyarakat Indonesia terkait keaneka ragamannya sehingga
munculah sikap merendahkan agama atau ras yang berbeda dengan dirinya.
Konflik yang terjadi di berbagai daerah seperti api
dalam sekam, yang akan meledak kapan pun apabila ada pemicunya. Kelihatannya
baik-baik saja namun ketika ada pemicu sekitik saja maka akan menjadi besar dan
merambat kepada yang lainnya. Saya
melihat dibeberapa halaman dalam buku ini bahwa konflik-konflik di berbagai
daerah ini terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang otoriter dan ketika
jatuhnya kepresidenan Soeharto. Dimana terjadi transisi masa Orde Baru kepada
masa Reformasi dimana kebebasan rakyat terjadi.
Saya pun melihat konflik-konflik ini seperti konflik
yang diwariskan secara turun-temurun dan akibat adanya rasa kebencian yag
sangat mendalam. Seolah-olah masyarakat telah terdoktrin oleh masa-masa dulu
yang masih menyimpan luka sampai saat ini. Dan luka itu belum sembuh seutuhnya,
meskipun telah ada dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan konflik namun
tetap saja konflik ini muncul kembali, walaupun penyebabnya masalah sepele. Saat ini saya
melihat di beberapa berita konflik hanya berawal dari individu dengan individu
namun kemudian meluas kepada kelompok dengan kelompok yang akhirnya terjadi
bentrokan antar warga. Hal ini seolah-olah adanya dendam di masa lalu kemudian
dendam ini disimpan di dalam hati, dan ketika ada pemicu meskipun sepele akan
membludak menjadi besar dan terjadi konflik antar warga sekampung.
Faktor-faktor pemicu
yang mendasari terjadinya antarkomunitas di Kalimantan (Alqadrie, 2006)
·
Perbedaan
budaya
·
Persaingan
yang tidak seimbang
·
Premanisme
dan kriminalitas (tindak kejahatan)
·
Kebijakan
pemerintah pusat yang sangat sentralistik
·
Struktur
dan persaingan sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang
·
Ketidak
mampuan dan ketidakberdayaan aparat penegak hukum.
Di dalam bukunya Malihah dan Kolip “Pengantar
Sosiologi” disebutkan beberapa akar penyebab terjadinya konflik menurut
beberapa sosiolog yaitu:
1. Perbedaan
antar individu
2. Benturan
antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik
3. Perubahan
sosial
4. Perbedaan
kebudayaan
Saya melihat disini terdapat kesamaan dari factor
penyebab konflik yang terjadi di Kalimantan dengan materi konflik yang tertuang
dalam buku Malihah dan Kolip yaitu:
·
Perbedaan kebudayaan
yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti
oleh sikap etnosentrisme kelompok, yakni sikap yang menunjukan bahwa
kelompoknya paling baik, ideal dibandingkan dengan kelompok lain. Jika
masing-masing kelompok memiliki sikap seperti itu maka sikap ini akan akan
memicu terjadinya konflik antar penganut kebudayaan. Seperti halnya di
Kalimantan terjadi konflik antara suku Madura dan suku Dayak. Adanya
prasangka-prasangka dari suku Dayak kalau suku Madura itu selalu membela yang
salah, dan melakukan penyogokan terhadap pihak kepolisian.
·
Benturan antar
kepentingan baik secara ekonomi maupun politik dengan Struktur dan persaingan
sosial-ekonomi yang tidak wajar dan tidak seimbang. Seperti suku Dayak memiliki
kepentingan karena daerah yang diduduki oleh suku Madura adalah wilayahnya.
Begitu pula sebagai suku Madura sebagai pendatang dan sudah menetap lama di
daerah Kalimantan juga memiliki kepentingan untuk menjadi pengusaha kayu di
Kalimantan.
·
Perubahan sosial dengan
kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistik yakni pada masa
pemerintahan Orde Baru Soeharto pemerintahan Pusat yang telah mengambil dan
membagi –bagi tanah dan hutan kepada pengusaha-pengusaha kayu, sehingga suku
Dayak marah terhadap pemerintahan Soeharto yang sangat sentralistik. Kebijakan
pemerintahan Soeharto melalui Menteri
Kehutanan, pemerintah pusat telah menjadikan sebagian besar wilayah hutan
tropis sebagai wilayah konsesi (pemilik HPH) bagi perusahaan kayu tanpa
memperhatikan hak-hak tanah tradisional orang dayak
Sejak
tahun 1990 telah terjadi serangan terhadap Gereja dengan peningkatan momentum
dan klimaksnya pada insiden yang mengerkan 1996 dan 1997 di Surabaya,
Situbondo, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian Timur Indonesia
telah terjadi serangan terhadap masjid-mesjid.
Beberapa tahun silam di Madura, Jawa Timur terjadi
pembakaran masjid dan rumah oleh pengikut Syiah oleh kelompok Sunni.
Dimulai dari kelompok anti syiah berdemo secara
damai, mereka meminta bus yang membawa
anak-anak itu kembali ke rumahnya karena khawatir akan di cuci otaknya ,menjadi
penganut aliran sesat, tetapi demo itu disikapi keras oleh kelompok Syiah
dengan mengacungkan cerulit dan pedang dan kelompok Sunni ada yang terkena bom
rakitan. Bentrokan pun tak bisa dihindari mereka saling serang dengan senjata
tajam dan bom rakitan yang ditanam di tanah.
Konflik
di Poso dan sekitarnya dan Luwu di bagian tengah Sulawesi dan belum ada
pemecahannya sampai saat ini.
Konflik di Poso merupakan konflik terpanjang dalam
sejarah bangsa Indonesia, bahkan sampai detik ini konflik di Poso masih
terjadi, terutama yang masih hangat adalah konflik Santoso yang merupakan
teroris, serta kemarin diberitakan bahwa polisi salah tembak yang menyebabkan
satu orang tewas. Polisi mengira bahwa korban itu adalah pengikut Santoso,
namun ternyata bukan.
Hal ini merupakan dampak konflik Poso yang begitu
panjang sehingga menyebabkan banyak pihak yang saling mencurigai antara satu
dengan yang lainnya. Kehidupan masyarakat yang seharusnya bertetangga dengan
baik atau hidup rukun saling menyapa dan tolong menolong, malahan berubah
menjadi saling curiga antara satu dengan yang lainnya. Adanya rasa saling
curiga diantara masyarakat maupun pihak keamanan di daerah Poso menjadikan
kehidupan sosial di Poso sangat memprihatinkan. Padahal manusia butuh rasa aman
untuk keberlangsungan hidupnya.
Muslim Bali sebagai Minoritas di Bali
Minoritas Muslim Bali di Pagayaman Bali mampu
mengadopsi sebagian unsur budaya Hindu-Bali
sebagai sumber potensi untuk memperkaya identitas mereka.
Saya melihat bahwa sikap saling menghormati antara
Hindu Bali dengan Islam Bali sudah terlaksana dengan baik. Seperti ketika acara
“nyepi” orang Islam juga menghormati, dan begitu pula dengan peribadatan umat
Islam seperti shalat Jumat, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya. Bahkan ketika
umat Islam melaksanakan peribadatan, masyarakat Bali yang beragama Hindu ikut
mengamankan dan menjaga keamanan. Namun sekarang saya mendengar ada isu
larangan berhijab di sekolah. Saya melihat diberita sosial media bahwa ada
konflik tentang pelarangan sekolah di Bali memakai hijab bagi umat muslim. Berita
ini telah menyebar ke wilayah-wilayah
lain yang bisa menyebabkan konflik di wilayah lain. Namun bisa saja berita ini
hanya dibuat oleh sekelompok oknum yang hanya ingin menghancurkan kerukunan di
Bali. Oknum tersebut bisa saja memakai sarana media untuk menggembor-gemborkan
agar konflik iu semakin memanas.
Perpecahan
internal dalam agama-agama
Sekarang ini banyak aliran-aliran sesat dalam
internal agama, persepsi setiap orang dalam memahami agama masing-masing menjadi
penyebab adanya radikalisme agama. Pemahaman yang salah dan pengetahuan agama
yang kurang mendalam menyebabkan konflik dalam satu agama. Misalnya adanya
kelompok Gafatar, dimana kelompok ini merupakan kelompok dengan aliran sesat.
Jadi bukan hanya antar agama bisa terjadi konflik, melainkan sesama agama pun
selalu ada konflik. Bahkan mereka yang sesama agama mengkafirkan orang
seagamanya. Kelompok radikal ini sangat meresahkan masyarakat karena di
dalamnya terdapat kekerasan atau tindak kriminal seperti bom bunuh diri sebagai
zihad dan lain sebagainya.
Terdapat
antusiasme yang luar biasa masyarakat Indonesia dalam menjalankan demokratisasi
seiring dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Mereka mengidentifikasikan
demokrasi sebagai kebebasan untuk ambil bagian dalam hal-hal yang berkaitan
dengan politik, menyampaikan pendapat dan bahkan melakukan tindakan politik
yang memaksakan kehendak.
Melihat dari pernyataan diatas bahwa sekarang ini
masyarakat Indonesia sepertinya telah salah kaprah dalam memahami demokrasi.
Kebebasan dewasa ini merupakan kebebasan yang sebebas-bebasnya, banyak perang
kata-kata di media sosial antara individu dengan individu bahkan menghina dan
mengkritik yang negative terhadap pemerintah maupun elit politik dewasa ini
sudah keterlaluan menurut saya. Banyak kata-kata kotor yang disampaikan oleh
rakyat kepada pemerintah dan elit politik lainnya, sebagai pelampiasan rasa
amarah dan mungkin dendam kepada pemerintah. Kebebasan yang sebebas-bebasnya
terutama di media sosial yang tidak ada jarak pemisah antara rakyat dan
pemerintah.
Kemunculan Primordialisme
Konflik ini menunjukan
bahwa elit politik telah melakukan tindakan yang sama dengan politik kotor, karena
mereka telah menggunakan segala cara untuk mengalahkan musuh politik mereka,
yang membangkitkan sentiment primordial.
Permasalahan primordialisme saat ini juga masih
terjadi apalagi ketika akan diselenggarakannya pemilihan presiden, gubernur dan
pemilihan-pemilihan lainnya di Indonesia. Ketika berkampanye biasanya partai
politik melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Isu
terhangat sekarang ini tentang pencalonan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta,
Ahok merupakan minoritas baik dari sisi agama maupun dari sisi keturunan. Namun
mengapa Ahok bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur. Dengan awalnya Ahok
memilih untuk maju melalui jalur independen dan teman Ahok telah berhasil
mengumpulkan fotocopy KTP sesuai persyaratan. Terdapat beberapa elit politik
yang berusaha menjatuhkan Ahok dengan mempengaruhi pemikiran warga untuk tidak
mendukungnya dengan alasan agama Ahok yang Kristen dan Ahok merupakan keturunan
Cina. Hal ini menimbulkan pro dan kontra antara warga dan juga partai politik
yang akan mendukungnya. Sehingga terjadi beberapa pemberitaan di media massa
yang menggembor-gemborkan sehingga terjadi konflik antara Teman Ahok dan Partai
Politik, selain itu, untuk menjatuhkan Ahok ada beberapa pihak yang menuduh
Ahok korupsi Sumber Waras dan lain sebagainya yang menyebabkan Ahok untuk masuk
beberapa kali ruang sidang, namun semua tuduhan itu nyatanya tidak bisa
dibuktikan dan tidak bisa memenjarakan Ahok. Banyaknya pihak yang ingin
menjatuhkan Ahok dari berbagai partai politik dan lain sebagainya yang membuat
politik kotor di Indonesia.
Selain itu
promordialisme juga terjadi untik menyingkirkan lawan politik Misalnya ada
calon presiden orang Banten maka rakyat Banten dan sekitarnya harus memilih
calon presiden yang berasal dari daerah yang sama dengan rakyat. Padahal belum
tentu kinerja presiden itu membawa kebaikan untuk semua masyarakat Indonesia.
Menurut pengamatan saya di pedesaan sering kali
terjadi ketika pemilihan DPRD, masing-masing calon memegang satu desa sebagai
pendukungnya. Jadi para calon mengklaim bahwa desa ini merupakan desa yang
memilih dirinya, sehingga ketika calon itu terpilih maka yang diutamakan dalam
pembangunan desa atau dalam memakmurkan desa yaitu desa yang warganya banyak
memilih dirinya. Sedangkan desa yang tidak mendukung dirinya ada kalanya
sedikit diabaikan. Itu menurut pengamatan saya di salah satu desa, namun tidak
semua di desa lain yang ada di Indonesia seperti itu.
Konflik di Indonesia akan selalu terjadi karena
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural, berbagai perbedaan
individu, perbedaan kepentingan dan lain sebagainya akan sulit untuk
mengintegrasikan seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga konflik akan terus
terjadi, kita tidak bisa menghilangkan konflik, namun yang perlu kita lakukan
adalah mengolah konflik sehingga tidak menjadi besar dan meluas. Masyarakat
yang multicultural dan banyak penduduknya akan sulit disatukan dibandingkan
dengan masyarakat yang homogen dan sedikit penduduknya.
BAB
IV
SARAN
A.
Bagi
Pengarang
Kekurangan buku ini:
·
Cover kurang menarik
·
Tidak ada daftar isi
·
Tidak ada gambar
konflik yang terjadi
·
Bahasa yang digunakan
terkadang sulit dipahami
·
Buku ini tidak dibuat
per Bab seperti buku-buku lain.
Saran saya bagi
pengarang buku untuk lebih memperhatikan lagi cover bukunya agar lebih menarik
dan kelihatan indah sehingga menarik pembaca untuk membaca buku tersebut. Selain itu, buku tersebut harus adanya daftar
isi sehingga memudahkan pembaca mengetahui halaman-halaman setiap judul yang
dipresentasikan di workshop itu. Agar lebih menarik lagi, buku tersebut harus
dilengkapi gambar-gambar konflik yang dijelaskan supaya pembaca bisa lebih
memahami dan pembaca bisa melihat kejadian melalui gambar-gambar yang
disajikan, hal ini juga agar ceritanya tidak monoton. Bahasa juga harus
diperhatikan. Di buku ini tidak dibuat per bab, namun di dalamnya ada pengganti
bab yaitu bagian 1, bagian 2, bagian 3 dan bagian 4. Setiap bagian terdapat
beberapa sub judul yang dipresentasikan
dalam workshop oleh beberapa orang. Hal ini akan sulit jika pembacanya orang
awam. Maka dari itu harus dibuat daftar isi untuk memperjelas bagian dari
sub-sub judul per babnya.
B.
Bagi
Pembaca
1. Pembaca
disarankan agar membaca dari awal secara tertib, tidak boleh berpindah-pindah
sesuka hati, karena setiap bagian isi buku akan saling berkaitan dengan bagian
buku di bab selanjutnya. Jika membacanya berpindah-pindah maka akan kesulitan
untuk memahami buku ini.
2. Pembaca
disarankan agar menandai halaman buku yang telah dibacanya sampai halaman yang
terakhir dibaca, dikarenakan tidak ada daftar isi maka agar tidak lupa dan
tidak mengulang pada halaman sebelumnya pembaca harus menandai halaman yang
dibacanya.
3. Pembaca
disarankan agar memahami setiap bagian isi buku tersebut.
4. Pembaca
disarankan agar memperkuat imajinasi dan pemikirannya terfokus pada isi buku
yang dibaca. Karena buku ini seperti bercerita tentang sejarah konflik zaman
Belanda, Soeharto dan setelah Soeharto yakni awal reformasi. Sehingga pembaca
harus bisa membayangkan kejadian konfliknya serta memahami kapan terjadi
konfliknya. Singkatnya harus memahami 5W+ 1H tentang konflik yang terjadi di
Indonesia.